Pedang Langit

Surga – Neraka : Kendali Jalan Kehidupan

Posted in Akhlak, Akidah Islam, Hikmah by pedanglangit on 21 Februari 2009

“Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.” (QS. Al-Baqarah : 197)

Taqwa amat berharga dalam kehidupan seorang Mukmin, karena menjadi tolok ukur nilai dirinya di sisi Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Hujurat : 13 yang artinya : “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa.”

Begitu pula untuk mengarungi kehidupan akhirat, tidak ada bekal yang lebih baik selain taqwa, firman-Nya dal Surah Al-Baqarah : 197 yang artinya : “Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.”

Ketaqwaan juga menyebabkan semua urusan dimudahkan oleh Allah SWT dan dikaruniai rezeki yang tidak terduga. Firman Allah SWT dalam Surah Ath-Thalaq : 2-3 yang artinya : “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”

Pendek kata, taqwa adalah sesuatu yang paling mahal yang harus kita kejar, raih dan pertahankan dalam diri kita, jika ingin menjadi manusia yang paling mulia, baik di dunia maupun kelak setelah berpisahnya ruh dari jasad.

Hakikat Taqwa

Sebelum berbicara panjang lebar mengenai langkah-langkah meraih taqwa, berikut ini definisi taqwa, sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu Mas’ud : “Engkau berbuat taat kepada Allah dengan cahaya (petunjuk) dari Allah dengan mengharap pahala Allah dan engkau tinggalkan maksiat kepada-Nya dengan cahaya dariNya karena takut akan siksaNya”.

Dan pengertian tersebut, dapat kita pahami bahwa nilai taqwa seseorang amat berkait dengan kadar raja’ (pengharapan) terhadap pahala Allah SWT (syurga) dan kadar khauf (takut) terhadap neraka Allah SWT. Selain itu, tentu yang paling awal adalah seberapa kadar ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) yang ia miliki. Itulah tiga unsur dasar yang mendorong seseorang untuk bertaqwa kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, seseorang tidak mungkin bisa menjadi Muttaqin (orang bertaqwa) sejati tanpa rasa takut kepada hari akhir, yang ujung-ujungnya adalah penentuan tempat tinggal, syurga atau neraka! Mari kita simak ayat berikut dalam Surah Al-Muzammil : 17 yang artinya : “Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban”.

Syurga Dan Neraka, Pengaruhnya Terhadap Generasi Salafush Shaleh

Sebagaimana telah disinggung, rasa takut terhadap neraka dan rindu terhadap syurga adalah bagian iman yang sangat penting. Bagian ini pulalah yang menyebabkan seseorang mampu mengorbankan apa saja untuk Rabbnya dan rela meninggalkan hawa nafsunya agar terhindar dari neraka. Marilah kita simak kembali lembar kehidupan generasi terbaik ummat ini. Salaf Ash-Shaleh, yang telah berhasil meresapkan rasa takut terhadap neraka dan rindu terhadap syurga ke dalam sanubari mereka.

Shahabat yang mulia, Anas bin Malik r.a. mengisahkan bahwa dalam perang Badar, Rasulullah SAW bersabda : “Bangkitlah kalian menuju syurga yang luasnya seluas langit dan bumi.” Seorang shahabat yang bernama Umair bin Hamam berkata, “Seluas langit dan bumi ya Rasulullah?” “Ya” jawab Rasul. Umair bergumam, “Bakh . . . bakh . . .”. Rasulullah SAW bertanya : “Apa maksud perkataanmu itu?” Umair menjawab : “Demi Allah wahai Rasulullah, tidak ada maksud dari perkataanku tadi kecuali aku mengharap untuk menjadi salah seorang penghuninya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya kamu termasuk salah seorang penghuninya”. Umair kemudian mengeluarkan beberapa kurma dari kantongnya dan memakan sebagian. Kemudian ia berkata : “Jika saya harus memakan korma-korma ini semua, tentu merupakan kehidupan yang terlalu lama”. Lalu ia lemparkan sisa kormanya, kemudian segera maju menyerang musuh sehingga ia terbunuh dan syahid . . .

Begitu juga Amru bin Jamuh. Lelaki ini diberi udzur untuk tidak ikut berperang karena kepincangannya. Namun cacat tersebut tidak menghalangi tekadnya untuk memasuki syurga dengan jalan jihad (perang) bertaruh nyawa. Ketika para putranya mencoba untuk menghalanginya agar tidak pergi berperang, justru ia mengadu kepada Rasulullah SAW tentang keinginannya masuk syurga dengan kakinya yang pincang. Akhirnya ia diijinkan ikut dalam perang Uhud. Ketika perang sedang berkecamuk, Rasulullah SAW bersabda, “Bersegeralah untuk bangkit menuju syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disiapkan bagi orang-orang yang bertaqwa”. Maka Amru bin Jamuh segera bangkit dengan kakinya yang pincang seraya berkata, “Demi Allah, aku akan bersegera kepadanya”. Kemudian ia berperang sampai terbunuh . . .

Sekarang marilah kita melihat gambaran lain dari generasi yang mulia ini tentang rasa takut mereka terhadap neraka. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan malam mereka penuh tangis dan harap agar terselamatkan dari neraka. Mereka adalah sejauh-jauh manusia yang meninggalkan larangan Allah SWT.

Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. mempunyai seorang budak. Suatu malam, budak tersebut datang kepadanya dengan membawa makanan. Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. sedang memakannya satu suapan, budak tadi berkata : “Mengapa engkau tidak menanyakan tentang (asal-usul) makanan ini, padahal biasanya engkau selalu menanyakannya?”, Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. menjawab, “Karena saya sangat lapar. Dari mana kau dapatkan makanan ini?” budak itu menjawab, “Suatu saat pada masa jahiliyyah, aku melewati suatu kaum kemudian meruqyah (menjampi) mereka dan mereka menjanjikan (akan memberi sesuatu) kepadaku. Tatkala lain waktu saya singgah ke tempat tersebut, saya diberi hadiah”. Berkata Ash-Shiddiq, “Celakalah kau . . . hampir saja kamu mencelakakanku”. ia meminta semangkuk air dan meminumnya sampai ia bisa memuntahkan makanan tadi. Orang yang melihat hal itu berkata, “Semoga Allah merahmatimu. Hanya karan sesuap makanan itukah kau lakukan semua ini?” Beliau menjawa, “Seandainya ia tidak bisa keluar kecuali bersama jiwaku pasti aku akan mengeluarkannya. Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Setiap jasad yang tumbuh dari hart yang haram, maka neraka adalah lebih pantas baginya’. Maka aku takut jika tubuhku ini tumbuh dari sesuap makanan tersebut”.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a. (tabi’in/generasi setelah shahabat) suatu ketika menangis, sehingga isterinya ikut menangis. Karena tangisan mereka berdua, para tetangganya pun ikut menangis. setelah tangis reda, isterinya, Fatimah bertanya kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang membuatmu menangis?’. Ia menjawab, “Saya membayangkan keadaan manusia nanti di hadapan Allah SWT. Sebagian masuk syurga dan lainnya masuk neraka”. Kemudian ia menjerit dan pingsan . . .

Abdullah bin Mubarak (ahli hadits sekaligus seorang mujahid), suatu malam pelita yang meneranginya padam. Setelah dihidupkan kembali, ternyata jenggotnya sudah basah dengan air mata karena membayangkan kegelapan hari akhir nanti . . .

Demikian juga Abu Faruq, pingsan setelah mendengar satu ayat Al-Qur’an.

Kondisi jiwa seperti inilah yang membuat mereka menjadi manusia yang paling zuhud dan wara’ (selektif/hati-hati) terhadap dunia dan takut berbuat dosa, walau sekecil apapun.

“Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.” (QS. Al-Baqarah : 197)

Kondisi Generasi Kiwari

Waktu bergulir tak kenal henti. Generasi pun datang silih berganti. Tanpa terasa empat belas abad sudah, generasi terbaik meninggalkan kita. Kini tinggallah sosok-sosok generasi abad sekarang, yang kalau kita perhatikn, baik di kantor, sekolah, pasar atau bahkan di masjid, adakah wajah-wajah yang penuh rasa takut, berbicara tentang akhirat? Adakah tangisan pilu karena membayangkan adzab neraka dapat kita jumpai dari para qari’, khatib, imam masjid atau ulama kita? Yang nampak sekarang ini justru manusia-manusia yang rakus terhadap dunia. Seluruh waktunya dikerahkan untuk meraup dunia ini, tidak peduli halal atau haram. Bayangan syurga dan neraka sudah terkisis dari diri mereka. Apalagi memang kondisi saat ini amat mendukung bagi terbentuknya pribadi hubbud dunya (cinta dunia) dan lupa akhirat.

Kenyataan itu ada di mana-mana. Di swalayan, musik (yang sebagian ulama’ mengharamkannya) berbaur dengan pajangan perangsang nafsu syaithani. Di rumah, televisi —yang sebagian besar acaranya mendakwahkan materialisme dan konsumerisme— menjadi santapan bebas keseharian keluarga kita. Kalau sudah begini, bagaimana hati ini akan mampu mengingat akhirat. Kalau setiap detik hati selalu dijejali dengan kemaksiatan, sendau gurau dan permainan, mana mungkin ia dapat mengalirkan derai air mata, sebagai penyimbah api neraka? Ia akan menjadi gelap dan tidak paham terhadap hakekat kehidupan.

Ingatlah firman Allah SWT dalam Surah Al-Muthoffifiin ayat 14 yang artinya : “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” Berkenaan dengan ayat ini, Ibnu Jarir, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi SAW bersabda : “Apabila seorang hamba melakukan perbuatan dosa, maka akan ada titik hitam di hatinya. Jika ia bertobat darinya, hatinya akan jernih kembali. Apabila dosanya bertambah, bertambah pula bintik hitam. Itulah maksud ayat ‘Kalla bal raana a’la quluubihim maa kaanu ya’maluun’ (Al-Muthaffifiin : 4).” (hadits hasan shahih menurut Tirmidzi).

Hitamnya hati disebabkan dosa. Dosa pulalah yang menjadikan hati kita keras hingga enggan untuk berdzikir, mengingat akhirat.

Merangsang Hati Mengingat Syurga Dan Neraka

Berikut kiat yang diharapkan mampu menjadikan hati lunak, sehingga mudah untuk mengingat akhirat (nikmat syurga atau adzab neraka).

Pertama, Tinggalkan maksiat
Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits tadi, bahwa banyaknya kemaksiatan yang kita lakukan akan menjadikan hati gelap dan keras, lebih keras dari batu, sehingga enggan untuk mengingat akhirat.

Imam Malik r.a. pernah menasehati muridnya, Imam Syafi’i r.a., “Wahai anak muda sesungguhnya saya melihat bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu. Maka, janganlah kau padamkan api itu dengan kegelapan maksiat.”

Kedua, Tadabbur (menghayati Al-Qur’an)
Banyak sekali ayat dalam Al-Qur’an yang menceritakan tentang syurga dan neraka. Apabila kita berhasil menghayati ayat tersebut, tentu akan timbul rasa rindu terhadap syurga dan takut terhadap neraka.

Ibrahim bin Basyar r.a. berkata bahwa ketika membaca ayat (artinya): “…andaikan engkau tahu, ketika mereka diberdirikan di mulut neraka, mereka berkata, ‘duhai andaikan aku dikembalikan (hidup) langu’ Ali bin Fudhail r.a. tersungkur dan meninggal. Saya adalah salah seorang yang menyolati jenazahnya”.

Riwayat lain menyebutkan, Umar bin Al-Khattab r.a. sakit ketika mendengar firman Allah SWT yang artinya : “Sesungguhnya siksa Rabbmu pasti terjadi. Tidak ada yang menghalanginya.”

Berusahalah dengan sungguh untuk mentadabburi Al-Qur’an, sehingga hati kita ‘hidup’. Bila perlu, ulangilah beberapa kali ayat tentang nikmat dan adzab yang sedang kita baca, agar dapat meninggalkan bekas di hati.

Ketiga, Membayangkan syurga dan neraka dalam keseharian kita.
Apabila melihat api, ingatlah bahwa neraka 70 kali lebih dahsyat panasnya dari api dunia. Apabila melewati sungai jernih yang mengalir, ingatlah kejernihan sungai di syurga. Termasuk juga apa yang dicontohkan oleh Abdullah bin Mubara di atas. Tetapi, kita mesti sadar bahwa segala yang terjadi di akhirat nanti tidaklah seperti apa yang kita bayangkan. Baik nikmat maupun kita bayangkan. Begitu pula, semua ini harus kita lakukan dalam batas yang diperbolehkan syari’at. Tidak dibenarkan, melihat lawan jenis yang bukan mahram, dengan alasan membayangkan salah satu kenikmatan di syurga.

Apabila kondisi seperti ini berhasil kita wujudkan, insya Allah derajat kita akan naik bersama orang-orang yang bertaqwa, berkumpul bersma orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Amien . . . .

Ulama Su’, Petaka Dan Fitnah

Posted in Akidah Islam, Hikmah by pedanglangit on 21 Februari 2009

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri. Padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir.” (QS. Al-Baqarah : 44)

Rasulullah SAW bersabda :
“Akan muncul di akhir zaman orang-orang yang mencari dunia dengan agama. Di hadapan manusia mereka memakai baju dari bulu domba untuk memberi kesan kerendahan hati mereka, lisan mereka lebih manis dari gula namun hati mereka adalah hati serigala (sangat menyukai harta dan kedudukan). Allah SWT berfirman : ‘Apakah dengan-Ku (kasih dan kesempatan yang kuberikan) kalian tertipu ataukah kalian berani kepada-Ku. Demi diriku, Aku bersumpah, Aku akan mengirim bencana dari antara mereka sendiri yang menjadikan orang-orang santun menjadi kebingungan (apalagi selain mereka) sehingga mereka tidak mampu melepaskan diri darinya.” (HR. Tirmidzi).

Namanya saja ulama su’ (buruk), tentu pekerjaannya merusak, mangacau, dan menyesatkan. Disebut ulama karena baju dan lisannya seperti ulama, disebut su’ karena perbuatan, ajakan, dan hatinya jahat. Karena itu, ulama su’ termasuk jenis manusia yang berbulu domba namun berhati serigala.

Ulama su’ sekarang ini adalah generasi penerus dari ulama su’ zaman dahulu. Ulama su’ mengajarkan tipu daya untuk mencari celah-celah hukum Allah, sehingga mereka bisa memakan harta secara batil seperti kisah orang-orang Bani Israil yang diharamkan mencari ikan pada hari Sabtu, namun mereka halalkan dengan tipu darya yang culup terkenal itu, atau menghalalkan bangkai dengan cara menccirkannya menjadi minyak lalu dijual dan dimakan harganya.

Ulama su’ adalah peringkat ulama yang paling rendah, paling buruk dan paling merugi. Ia adalah seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya dan tidak mengajarkannya kepada manusia. Di samping itu, ia mengajak kepada kejahatan dan kesesatan. Ia menyuguhkan keburukan dalam bentuk kebaikan. Ia menggambarkan kebatilan dengan gambar sebuah kebenaran. Ada katlanya, karena menjilat para penguasa dan orang-orang dzalim lainnya untuk mendapatkan kedudukan, pangkat, pengaruh, pernghargaan atau apa saja dari perhiasan dunia yang ada di tangan mereka. Atau ada juga ang melakukan itu karena sengaja menentang Allah dan Rasul-Nya demi menciptakan kerusakan di muka buni ini. Mereka tidak lain adalah para khalifah syetan dan para wakil Dajjal.

Diantara ulama su’ ada juga kelompok yang mengajak kepada kebaikan, namun tidak pernah memberikan keteladanan. Karena itu, ibnul Qayyim berkata : “Ulama su’ duduk di depan pintu surga dan mengajak manusia untuk masuk ke dalamnya dengan ucapan dan seruan-seruan mereka. Dan mengajak manusia untuk masuk ke dalam neraka dengan perbuatan dan tindakannya. Ucapan mereka berkata kepada manusia : ‘Kemarilah! Kemarilah!’ Sedangkan perbuatan mereka berkata : Janganlah engkau dengarkan seruan mereka. Seandainya seruan mereka itu benar, tentu mereka adalah orang yang pertama kali memenuhi seruan itu.” (Al-Fawaid, Ibnul Qayyim, hal. 61).

Diriwayatkan bahwa Allah SWT memberi wahyu kepada Nabi Dawud AS : “Wahai Dawud jangan engkau jadikan antara Aku dan antara dirimu seorang alim yang sudah tergoda oleh dunia, sehingga ia bisa menghalangimu dari jalan mahabbahku. Karena sesungguhnya mereka adalah para begal yang membegal jalannya hamba-hambaKu. Sesungguhnya hukuman terkecil yang Aku kenakan untuk mereka adalah Aku cabut kelezatan bermunajat dari hati mereka.” (Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Bar, I/193).

Asy-Sya’bi berkata : “Akan ada sekelompok penduduk surga yang melongok, melihat sekelompok penduduk neraka. Lalu penduduk surga menyapa mereka dengan penuh keheranan, ‘Apa yang membuat kalian masuk neraka, padahal kami masuk surga karena jasa didikan dan ajaranmu?’ Mereka menjawab : Sesungguhnya kami memerintahkan kalian melakukan kebaikan namun kami sendiri melakukannya.”

Allah SWT telah mencela orang-orang semacam ini sejak zaman Nabi Musa AS dan mengabadikan hinaan itu di dalam kitab suci sepanjang masa, seperti dalam QS. Al-Baqarah : 44, yang artinya :”Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri. Padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Mukhtashar jami’ Bayanul Ilmi, Ahmad bin Umar Al-Bairuti, hal. 163).

Contoh Nyata

Contohnya banyak sekali, seperti ulama yang dalam muktamar telah memutuskan keharaman musik, lalu setelah pulang ke pesantrennya ternyata di rumahnya terang-terangan memutas kaset-kaset nyanyian atau bahkan santrinya direstui membentuk group musik atau qasidah. Ada lagi ulama-ulama yang ikut dalam tim pengharaman rokok, padahal dia sendiri adalah perokok. Ada juga ulama yang dengan manisnya mengatakan bahwa tugasnya adalah berdakwah demi kesejahteraan Islam, namun di waktu lain ia malah membolehkan bahkan mengajak untuk memilih orang-orang kafir sebagai pemimpin, dan lain sebagainya.

Satu lagi termasuk kelompok ulama su’ yaitu ulama yang mengajak kepada kebaikan, tetapi dengan cara-cara kefasikan, seperti berdakwah dengan musik dan gendingan. Mulutnya mengajak ke surga sementara tangan dan kakinya mengajak orang lain untuk bergoyang mengikuti syetan. Atau berdakwah dengan menggunakan metode lawak, sehingga ungkapan yang kotor dan contoh-contoh yang seronok menjadi bumbu wajib dalam setiap ceramahnya karena target keberhasilannya adalah puasnya hadirin, pemirsa dan pendengar, dengan gelak tawa dan senyuman lebar sebanyak mungkin. Tema dan isi dakwah pun dipilih dan dikemas sesuai dengan selera para panitia dan pengunjung. Mulutnya mengajak kepada iman, namun lawakan dan kebanyolannya melupakan akhirat. Intinya adalah ia mencari “ridah manusia.” Jenis ulama penghibur (pelawak dan pemusik) ini tidak mengikuti aturan dakwah dalam syariat Islam, tetapi mengikuti nafsu syetan demi mengejar ridha manusia. Mereka lupa akan ancaman Rasulullah SAW :

“Barangsiapa yang mencari ridha Allah dengan (resiko mendapat) murka manusia, maka Allah mencukupinya dari manusia. Dan barangsiapa mencari ridha manusia dengan (menyebabkan) kemurkaan Allah, maka Allah menyerahkan dirinya kepada manusia.” (HR. Tirmidzi, no. 2419).

Alhasil ulama su’ adalah perusak agama, pemadam sunnah, pelindung bid’ah, pelopor maksiat. Sesungguhnya tepat ungkapan ibnul Mubarak : “Tidaklah merusak agama ini melainkan para raja, ulama su’, dan para rahibnya.”

Hal ini karena manusia ini bergantung kepada ulama (ahli ilmu dan amal), ubbad (ahli ibadah) dan muluk (umara, aghniya’). Jika mereka baik, manusia akan baik dan juka mereka rusak, pasti dunia menjadi rusak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/462).

Umar berkata kepada Ziyad bin Hudair : “Apakah kamu mengerti apa yang merusak Islam?” Ziyad berkata : “Tidak.” Umar berkata : “Tergelincirnya seorang alim, debatnya orang munafik -dengan ayat Al-Qur’an- dan (penetapan) hukumnya para imam yang menyesatkan.” (Riwayat Ad-Darimi).

Ulama su’ sejatinya adalah da’i-da’i neraka. Dalam hadits Hudzaifah ra, ketika dia bertanya kepada Rasulullah SAW : “Sesungguhnya kita dulu ada dalam kejahiliyahan lalu Allah menganugerahkan kepada kami kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab dalam ucapannya yang panjang sampai berkata : “ya, para da’i di ambang pintu Jahannam. Siapa yang mendatangi ajakannya pasti akan mereka lemparkan ke dalamnya.” (HR. Al-Bukhari, 7084, dan lain-lain).

Ulama su’ menjadi musuh Allah, mereka sebegitu buruknya karena memutar balikkan urusan, maka benar-benar terbalik. Mestinya salah seorang mereka bisa menjadi pengajak dan penyeru kepada jalan Allah, ternyata mereka sesat dan menyesatkan, mengajak kepada jalan syetan. (Dari ucapan Ali ra, Ad-Dakwatul Tammah, Abdullah Al-Hadrami. hal. 42).

Ulama su’ adalah ulama fasik yang akan dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka sebelum para penyembah berhala, karena salahnya orang yang mengerti tidak sama dengan orang yang tidak mengerti. (Mukhtashar Jami’ Bayanil Ilmi, 164).

Ya Allah, jadikanlah manfaat untuk kami apa yang telah engkau ajarkan kepada kami dan ajarkanlah terus kepada kami apa yang bermanfaat untuk kami. (Abu Hamzah As-Sanuwi).

Mari Bentengi Diri Dari Penyimpangan Pemikiran

Posted in Akidah Islam, Hikmah by pedanglangit on 21 Februari 2009

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan (membawa) kebenaran, supaya engkau menghukum antara manusia dengan apa yang diperlihatkan (diturunkan) Allah kepadamu itu.” (QS. An-Nisa’ : 105)

Di dalam sebuat hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tarmidzi disebutkan bahwa sahabat Hudzaifah ibnu Al-Yamani pernah bertanya kepada Rasulullah SAW : “Wahai Rasulullah, apakah sesudah kebaikan ini akan ada masa keburukan? Jawab Rasulullah: ‘Ya…, yaitu munculnya kaum yang mengajak orang lain ke neraka jahannam. Barangsiapa memenuhi ajakannya berarti telah menyiapkan dirinya untuk masuk neraka’. Aku berkata: Terangkanlah ciri-ciri mereka itu, wahai Rasulullah. Jawab Rasulullah: ‘Kulit mereka sama dengan kulit kita dan mereka bicara dengan bahasa kita.”

Kutipan potongan sebuah hadits itu dijadikan landasan oleh Prof. Ahmad Muhammad Jamal (almarhum) guru besar kebudayaan Islam pada Universitas Ummul Qura Makkah, dalam pendahuluan kitabnya yang berjudul Muftaroyaat ‘alal Islam (Kebohongan-kebohongan) terhadap Islam) yang di Indonesiakan menjadi Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam.

Beliau mengemukakan hadits tersebut, karena menyesalkan sekali adanya orang-orang yang bersikap kebarat-baratan justru dari kalangan kita sendiri, warna kulitnya sejenis dengan kita, bahasanya sama dengan kita, bahkan semboyannya pun seperti semboyan kita. Namun mereka membelakangi sumber-sumber ajaran Islam berupa Al-Qur’an, Hadits, dan Sejarah Islam. Sebaliknya mereka hadapkan wajah dan hati mereka kepada sumber-sumber Barat. Kemudian mereka menuduh dan membohongkan Islam seperti yang diperbuat orang Barat.

Menurut Syeikh Ahmad Jamal, pengaruh itu masuk ke orang Islam lantaran salah satu dari 3 hal:

Karena mereka belajar di perguruan tinggi Barat, Eropa, atau Amerika.
Karena mereka belajar di bawah asuhan orang-orang Barat di perguruan tinggi di dalam negeri mereka sendiri, atau
Karena mereka hanya membaca sumber-sumber dari Barat di luar tempat-tempat pendidikan formal dengan mengenyampingkan sumber-sumber Islam.
Kalau sudah demikian, tanggung jawab siapa?

Kembali Syeikh Ahmad Jamal mengulasnya, bahwa itu adalah tanggung jawab kita -ummat Islam- juga. Kenapa? Karena kitalah yang mengirim mereka ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Barat dengan aneka alasan. Pengiriman mahasiswa itu tanpa membekali antisipasi untuk mencegah keraguan-raguan yang ditanamkan guru-guru Barat, dan kita tidak menyediakan untuk mahasiswa itu citra dan syiar Islam serta bentuk rumah tangga dan negara yang benar-benar Islami. Hingga kita tidak bisa meluruskan mereka ketika bengkok.

“Ya, kita mengirim mereka ke perguruan-perguruan Barat, namun kita tidak membangun rumah Islam buat mereka yang dapat melindungi mereka dari panah dan hembusan beracun orang-orang Barat.” Tulis Ahmad Muhammad Jamal.

Dengan tandas, Ustadz itu mengemukakan bahwa di samping bahaya tersebut, masih pula kita mendatangkan tenaga-tenaga pengajar dari Barat untuk memberikan pelajaran di perguruan-perguruan dan universitas-universitas kita. Dapat dipastikan, tenaga-tenaga Barat itu menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka sebagaimana yang dilakukan rekan-rekan mereka di negara Barat, yaitu meracuni dan menimbulkan rasa antipati terhadap Islam.

Faktor-faktor itu masih pula ditambah dngan kesalahan kita yaitu membuka pintu lebar-lebar untuk penyebaran kebudayaan Barat, sehingga orang kita begitu saja membenarkan apa-apa yang datang dari Barat dan menerimanya bulat-bulat.

Akibat dari itu semua, Ustadz Ahmad Muhammad Jamal (68 th) yang wafat di Kairo, Mesir pada hari Arafah 1413 H itu mengemukakan peringatan yang cukup tegas:
“Dengan terjadinya hal-hal semacam itu maka juru da’wah Islam hanya dapat berteriak di lembah sunyi dan di padang yang lengang, bahkan mereka hanya dapat membacakan do’a kepada ahli kubur. Hanya sedikit pemuda Muslim yang diselamatkan oleh Allah. Yang sedikit inipun selalu dihalang-halangi kelompok jahat yang mayoritas itu dengan berbagai jalan. Setiap orang beriman ditekan, diintimidasi dan dirintangi dari menjalankan agama Allah”

Menghancurkan Hukum Islam Dan Sistem Islam.

Upaya Barat untuk menghancurkan Islam adalah selama 6 abad orang Barat belajar kepada kaum Muslimin, mula-mula yang dihancurkan adalah Hukum Islam. Hukum atau Syari’at Islam telah berlangsung dan diterapkan sejak kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sampai berkembangnya Islam ke berbagai negara di zaman kekhalifahan ataupun kesultanan.

Pada masa pemekaran Islam ke berbagai negara pada abad ketujuh, delapan, dan kesembilan Masehi, Hukum Positif Romawi mulai jatuh dan dilupakan orang, sejak munculnya Justinius pada abad keenam Masehi, Hukum Positif itu tidak bisa diberlakukan lagi berabad-abad, kecuali pada abad ke sebelas oleh seorang murid yang sempat belajar hukum Islam di Andalus, yaitu Paus Jerbart seorang Prancis yang dikenal dengan nama Silvestre II (1024 M). Ia menjadi murid orang-orang Islam Andalusia abad 11, kemudian kembali ke Prancis dan mengkaji hukum positif Romawi dengan memasukkan unsur-unsur syari’at Islam yang telah ia terima. Tetapi Paus Silvestre dan lainnya tidak berani mempublikasikan ajaran yang membawa pengaruh syari’at Islam itu di depan Gereja. Kemudian hukum positif Romawi yang dibawa oleh Paus dapat diterima oleh Gereja sebagai perkembangan hukum yang terselubung. (Dr. Abdul Halim Uwies, Al-Islamu kamaa yanbaghi an nu’mina bih, diindonesiakan menjadi Koreksi terhadap Ummat Islam, Darul Ulum Press, Jakarta, cet. pertama, 1989, hal. 82).

Pada priode berikutnya, hukum Islam yang telah diberlakukan di berabagai negeri itu kemudian dipreteli (dilepas) diganti dengan hukum positif. Di saat hampir saja Inggris menduduki India (plus Pakistan dan Bangladesh) tahun 1791, Inggris sudah mengadakan gerakan untuk membatalkan syari’at Islam, kemudian orang Islam di sana mulai didesak untuk menginggalkan ajarannya dan menjalankan hukum mereka. Terjepitlah syari’at Islam pada saat itu, dan peristiwa inilah sebagi awal kemerosotan dunia Islam secara umum.

Di belahan lain di Mesir, berlangsung pula revolusi Prancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte hingga tahun 1798. Tiga tahun setelahnya (1801 M) mereka keluar dari Mesir setelah di belakang mereka telah disiapkan adanya sejumlah pendukung, percetakan-percetakan dan pemuka-pemukanya termasuk para pemikirnya yang nantinya siap untuk menghembuskan pergolakan pemikiran yang “cemerlang”, seperti Muhammad Ali Basya yang menjadi agen Prancis dan mendapat dukungan dari semua warganya kecuali Raja Fuad (Rahimahullah) hingga akhirnya Mesir menjadi negara bagian dari Eropa.

Gerakan mereka tidak lain hanyalah perlawanan terhadap kaum Muslimin di Jazirah Arab dan sebagai barisan oposisi gerakan pembaharuan Wahabi.

Adapun dngan Inggris dan Prancis mereka adalah agen-agennya, baik secar moral maupun intelektual. Di kalangan warga negaranya, Muhammad Ali Basya mewajibkan mereka untukmelaksanakan hukum Prancis pada tahun 1883, di Mesir. Dan ia mendirikan Mahkamah Nasional sesuai dengan hukum Prancis. Tetapi setelah ia merasakan bahwa hukum itu barang efektif dicabutlah dan diganti dengan hukum Belgia pada tahun 1887, dan setelah ia merasakan bahwa hal itu juga kurang efektif dicabutnya lagi dan diganti dengan hukum Itali pada tahun 1889, begitu seterusnya hingga dibentuk hukum positif Inggris yang berlaku untuk orang-orang Muslim India dan Sudan. Dan itulah yang menjadi hukum permanen di Mesir sebagaimana juga di empat bagian negara Eropa lainnya. Akan tetapi setelah Britania (Inggris) mulai melemah di Mesir, ditetapkan hukum Eropa di setiap lembaga pemerintahan di sana. (Ibid, hal. 83-84).

kemudian pengaruh-pengaruh Barat menyeruak ke seluruh daerah-daerah besar lainnya sampai di Turki Utsmani.

Bangkitlah Kemal Ataturk pada tahun 1924 M dan meruntuhkan kekhalifahan dan ia mengeluarkan meomentum untuk menghapus Islam dengan segala bentuknya dan menegaskan agar seluruh manusia dapat meninggalkan aqidah dan syari’ah Islam.

Di sin pemikiran lain, muncul dari kelompok mereka, Syeikh Ali Abdul Razik (Mesir), ia termasuk barisan partai Hizbul Ahrar Ad-Dusturiin dan pernah meninggalkan Hizbul Ummah (partai Inggris), ia mempromosikan bukunya Al-Islam wa Ushulul Hukmi. (ibid, hal 84).

Penyelewengan pemikiran dalam buku Ali Abdul Raziq di antaranya:

Bahwa Syeikh Ali telah menjadikan syari’at Islam sebagai syari’at rohani semata-mata, tidak ada hukumnya dengan pemerintah dan pelaksanaan hukum dalam urusan duniawi.

Berkenaan dengan anggapannya bahwa agama tidak melarang perang jihad Nabi SAW, demi mendapatkan kerajaan bukan dalam rangka fi sabilillah, dan bukan untuk menyampaikan da’wah kepada seluruh alam. Dia menulis :

“…dan jelaslah sejak pertama bahwa jihad itu tidak semata-mata untuk da’wah agama dan tidak untuk menganjurkan orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya…”

Bahwa tatanan hukum di zaman Nabi SAW tidak jelaas, meragukan, tidak stabil, tidak sempurna dan menimbulkan berbagai tanda tanya. Katanya:

“Sebenarnya kewalian Muhammad SAW atas segenap kaum mu’minin itu ialah wilayah risalah, tidak bercampur sedikitpun dengan hukum permerintahan.”

Menurut sidang para ulama Al-Azhar yang menghakimi Syeikh Ali Abdul Raziq, cara yang ditempuh Syeikh Ali itu berbahaya, karena ia ingin melucuti Nabi SAW dari hukum pemerintahan…Sudah tentu anggapan Syeikh Ali itu bertentangan dengan bunyi tegas Al-Qur’anul Kariim Surah An-Nisa’ : 105 yang menyatakan yang artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan (membawa) kebenaran, supaya engkau menghukum antara manusia dengan apa yang diperlihatkan (diturunkan) Allah kepadamu itu.”

Berkenaan dengan anggapannya bahwa tugas Nabi hanya menyampaikan syari’at lepas dari hukum pemerintahan hukum dan pelaksanaannya.

Kalau anggapan itu benar tentunya ia merupakan penolakan terhadap semua ayat-ayat tentang pemerintahan hukum yang banyak terdapat di Al-Qur’an.. Dan bertentangan juga dengan Sunnah Rasul SAW yang jelas dengan tegas…

Masih banyak lagi penyimpangan pemikiran Ali Abdul Raziq, hingga ia diputuskan oleh forum alim ulama Al-Azhar dengan memecatnya dan mengeluarkan dari barisan ulama Al-Azhar. Keputusan pemecatan itu dikeluarkan dalam persidangan terhadap Syeikh Ali Abdul Raziq yang dipimpin Abul Fadhal Al-Jizawi dengan anggota 24 ulama Al-Azhar tanggal 22 Muharam 1344 H/12 Agustus 1925. (Dari Al-Milal wan Nihal oleh Asy-Syahrastani, dikutip Fathi Yakan, Islam di tengah persekongkolan musuh abad 20, GIP cet. 6, 1993, hal. 113, lihat H. Hartono A. Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, 1994, hal. 83-84).

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan (membawa) kebenaran, supaya engkau menghukum antara manusia dengan apa yang diperlihatkan (diturunkan) Allah kepadamu itu.” (QS. An-Nisa’ : 105)

Ummat Kebingungan

Sejak terjadinya pemisahan antara penguasa dengan sumber-sumber hukum Islam di kalangan ummat Islam, di mana manusia merasa kebingungan karena diombang-ambingkan oleh hawa nafsunya, para ulam pun sudah tak mau peduli. Masing-masing sudah sibuk dengan urusannya sendiri dan mereka pandang itulah yang lebih aman dan selamat.

Ketika terjadi kebangkitan Eropa baru, kondisi ummat sama sekali sudah tidak memiliki unsur-unsur kekuatan yang hakiki. Sebut saja aqidahnya lemah dan tidak jelas lagi arahnya. Keyakinannya tidak mantap, akhlaknya merosot, komitmennya hampir tak ada sama sekali. Pemikirannya jumud (beku), ijtihadnya macet total, kefaqihannya (kefahamannya terhadap Islam) hilang, bid’ah merajalela, sunnah sudah diabaikan, kesadarannya menipis, sampai-sampai yang namanya ummat tidak seperti ummat lagi. Maka orang Barat mengeksploitasi kesempatan tersebut dengan menjajah dan menguasai berbagai negeri dan menghabisi sisa-sisa unsur kekuatan pribadi ummat sampai keadaannya seperti apa yang kita rasakan sekarang. Penuh kehinaan tanpa memiliki wibawa sama sekali. Segala urusan kita berada di tangan musuh dan nasib kita ditentukan oleh mereka para penjajah itu. Akhirnya kita minta bantuan kepada mereka untuk menyelesaikan segala problem yang timbulnya dari pribadi kita sendiri. (Dr. Thoha Jabir Fayyadh Al-Ulwani, Adabul Ikhtilaf fil Islam / Beda pendapat bagaimana menurut Islam, GIP, 1991, hal. 135).

Para penjajah benar-benar memahami karakteristik ummat yang dijajahnya (yang keadaannya telah carut marut itu). Mereka memfokuskan perhatian pada pembentukan program pengajaran dan lembaga-lembaganya, dengan harapan dapat mengubah pemikiran-pemikiran kaum Muslimin sehingga siap untuk menerima pemikiran-pemikiran alam baru dan berusaha menyelaraskannya.

Para penjajah kafir tersebut beranggapan bahwa penerimaan kaum Muslimin terhadap realitas yang baru dapat mendorong mereka untuk mencapai kemauan.

Hal itu mereka analogikan pada negara-negara Eropa yang tidak merencanakan programnya yang benar-benar mantap untuk mencapai suatu peradaban kecuali setelah melepaskan agamanya dan bebas dari belenggu gereja. Menurut mereka, semua agama hanya merupakan lembaga serta penghalang untuk mencapai tujuan.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Kahfi : 5 yang artinya:
“Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.”

Tuduhan-tuduhan mereka itu memang benar untuk agama mereka, namun sangat jauh untuk dikatakan benar-benar terhadap dien Al-Islam. Karena, dengan Islam itu Allah menghendaki agar manusia hidup bahagia dan terwujud segala keinginannya. (ibid, hal. 139).

Penjajah menekan sistem pengajaran Islam

Dalam rangka usaha untuk memisahkan ummat dari eksistensi dan kehidupannya yang Islami, para penjajah kafir melakukan tekanan-tekanan dan hambatan terhadap sistem pengajaran Islam. Mereka juga menghembuskan pemikiran-pemikiran yang dapat merendahkan kedudukan dan menghina pelajaran-pelajaran Islam.

Sebagai kebalikannya, mereka memperhatikan dan membantu murid-murid yang memasuki sekolah-sekolah baru tempat pendidikan mereka (penjajah). Di hadapan mereka dihadapkan pintu masa depan yang gilang-gemilang dan akhirnya posisi kepemimpinan ummat menjadi tergantung kepada mereka (yang diasuh penjajah itu, pen.)

Begitulah tekanan-tekanan yang dilancarkan terhadap sistem pendidikan Islam dan bahasa Arab. Semua jalan yang menuju ke sana tertutup rapat. Murid-murid yang tetap tekun hanyalah sebagian kecil saja. Biasanya mereka banyak mengahadapi tekanan-tekanan yang seringkali mengakibatkan mereka berhenti dan macet di tengah jalan. Kalau tidak, maka mereka dihadapkan pada perlakuan yang berbeda, dengan para lulusan sekolah mereka (penjajah) (ibid, 140).

Sistem itu masih dilanjutkan pula oleh pemerintahan baru setelah lepas dari jajahan. Walaupun para pemegang tampuk pemerintahan mengaku dirinya Muslim, namun cara-cara penjajah tetap diterapkan bahkan lebih intensif. Baik itu mengenai sistem hukum / peradilan dan pemerintahan, maupun sistem pendidikan dan penerimaan pegawai. Istilah lokal Jawa, Londo Ireng (Belanda Hitam alias pribumi, namun kejamnya dan liciknya dalam penerapan kekafiran lebih Belanda / lebih menjajah dibanding Belanda penjajah).

Akibatnya, di samping yang mendapatkan kesempatan memimpin itu orang-orang yang tidak tahu Islam karena pendidikannya ala kafirin, masih pula sikap mereka pun sudah menjadi orang yang sekuler tulen, dalam bentuk keturunan orang Islam. Pola pikirnya sekuler, gaya hidupnya sekuler, pergaulan hidupnya sekuler, penerapan hukum dan pembelaannya ke arah sekuler.

Membentengi ummat dari penyimpangan pemikiran ?

Tiba gilirannya untuk menjawab judul makalah ini, bagaimana membentengi ummat dari penyimpangan pemikiran.

Ibarat satu kampung, keadaannya sudah ditenggelamkan dalam air. Penenggelaman ini dari segi sistem hukum, sistem pendidikan, dan kebijakan-kebijakan yang menyingkirkan Islam. Maka yang masih tersisa tinggallah yang diselamatkan oleh Allah SWT.

Setelah tenggelam dalam pola pikir yang sekuler, yang tak Islami, lalu harus dibentengi bagaimana?

Secara teori, kita harus menyingkirkan segala pemikiran yang tak sesuai dengan Islam. Ibarat air yang telah menggenangi, maka harus ditawa, dipompa untuk dibuang, dan dikuras. Jadi pola pikir sekuler itu harus dikikis, bahkan diperangi agar terkikis habis. Setelah itu diisi dengan pola yang Islami.
Caranya ?
Secara teori, sistem hukum dan sistem pendidikan harus dikembalikan ke Islam.
Caranya ?
Para pemegang kekuasaan bidang hukum dan pendidikan terdiri dari orang-orang yang berpola pikir Islami. Tetapi itu hanya bisa ditempuh bila pemegang kendali kekuasaan adalah orang-orang yang berpola pikir Islami.

Untuk mencapai itu, mesti diadakan pendidikan yang intensif, yang secara herarkis mencapai tingkatan sampai tinggi dan tetap punya komitmen yang tinggi terhadap pola pemikiran yang Islami.

Bukankah nantinya tetap kalah dalam bersaing, karena sistemnya tidak memungkinkah untuk merebut pasar kedudukan?

Di balik upaya manusia, dalam menegakkan kebenaran ini ada dukungan Allah SWT. “Apabila kalian menolong (agama) Allah maka pasti Allah menolong kalian.” Itu jaminan Allah SWT.

Dibalik itu pula, Nabi SAW bersabda yang artinya : “Tali-tali Islam pasi akan putus satu tali demi satu tali. Maka setiapkali putus satu tali (lalu) manusia bergantung dengan tali yang berikutnya. Dan tali Islam yang pertama kali putus adalah hukum (nya), sedang yang terakhir (putus) adalah shalat.” (HR. Ahmad dari Abi Umamah).

Tali-tali hukum Islam ternyata telah diputus-putus oleh penjajah dan dilanjutkan oleh pemerintah penggati penjajah. Demikian pula tali-tali sistem pendidikan. Bahkan sistem budaya pula. Kini hal yang jelas belum diputus adalah shalat, maka kita kembalikan apa yang putus-putus itu dengan membangun kembali shalat kita dengan berjamaah ke masjid-masjid dan meningkatkan kekhusyu’an. Dari situ, akan terbina insan-insan Muslim yang tangguh yang mampu mengendalikan dirinya dari fahsya’ dan munkar. Karena Allah SWT berfirman dalam Surah yang Al-Ankabut : 45 artinya :”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.”

Dengan tumbuhnya sosok-sosok pribadi muslimin yang mampu mengendalikan diri dari fahsya’ dan munkar itu maka akan memiliki bashirah yang tajam, yang mampu membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Hanya saja semua itu harus dilandasi ilmu Islam yang memadai, sehingga bashirah yang tajam itu akan dibentengi oleh hujjah yang benar. Itulah pokok jalan keluarnya.

Al-hasil, jalan yang harus ditempuh adalah merestorasi pemahaman ummat dengan menanamkan aqidah shahihah, menegakkan shalat berjemaah, mendisiplinkan da’wah Islamiyah, dan membentuk serta melaksanakan sistem pendidikan yang sesuai dengan Islam. Bila semua itu ditempuh maka pada masanya akan datang kebenaran pada hati-hati Muslimin dan hancurlah kebatilan, tersingkir dari benak-benak Muslimin. Dari individu-individu Muslim, ke tingkat keluarga, ke tingkat kelompok, dan kemudian insya Allah akan ke tingkat yang lebih luas lagi, sehingga akan meratalah pemahaman yang benar tentang Islam. Kalau toh tidak sampai merata, insya Allah pribadi-pribadi yang terselamatkan itu sendiri berarti telah selamat dari kesesatan pemikiran.

Semua itu harus dimulai, Ibda’ binafsik. Mulailah dengan dirimu sendiri lebih dulu, Mari.

Mudah-mudahan Allah memberikan kekuatan bashirah yang mampu mendeteksi bahwa yang batil ataupun menyimpang itu tampak batil, sehingga kita mampu menghindarinya. Amien.

Indahnya Persaudaraan Islam

Posted in Hikmah, Ukhuwah by pedanglangit on 21 Februari 2009

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat Rahmat.” (QS. Al-Hujarat:10)

Allah SWT banyak menekankan arti persaudaraan sesama muslim dalam banyak ayat. Bahkan agar saling memintakan apapun satu sama lain (QS. Al-Hasyr:10) karena banyak saudara seorang muslim merasa kuat, aman dan mendapat perhatian. Dalam persaudaraan terdapat pula hak dan kewajiban minimal ada 6 seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw.

Hak seorang muslim terhadap muslim lainya ada enam (dalam riwayat lain disebutkan ada 5):

1. Apabila diberi salam hendaknya dijawab.
2. Apabila diundang hendaknya dipenuhi.
3. Apabila diminta nasihat hendaknya memberi nasihat.
4. Apabila bersin dan mengucapkan hamdallah, hendaknya dijawab yarhamukallah.
5. Apabila sakit hendaknya dikunjungi.
6. Apabila dia wafat hendaknya diantar sampai kuburan. (HR. Muslim).

Ada beberapa hal yang dapat merusak persaudaraan itu, diantaranya sombong, egois, senang memperolok atau mengejek, berbangga diri karena keturunannya, kemaksiatan karena lali terhadap Allah, meninggalkan hukum Allah dsb. Kondisi ummat Islam umumnya dan Indonesia khusunya menuntut persaudaraan lebih urgent. Namun demikian kita jangan termakan propaganda kaum salibis yang sedang gencar menyebarkan dakwah persaudaraan kepada ummat Islam dalam rangka menyeret ummat Islam ke dalam ajaran mereka. Naudzubillahi mindzalik.